Hari yang lain di penjara: Luring, Kerabat, dan Demo Akbar.

Album Gelap Gempita dari Sukatani menjadi satu-satunya berkas lagu di ponselku saat ini, dan mulai berputar untuk kedua kalinya saat admin penjual paket internet langgananku membalas pesan WA. Sudah lebih dari setahun belakangan aku mengisi paket internet melaluinya—yang kutemukan di grup Facebook—karena harganya jauh lebih ekonomis ketimbang melalui aplikasi resmi provider internet yang kugunakan.

Stok paket incaranku keburu habis, dan menurutnya tengah malam nanti sudah tersedia kembali. Jadi, sekitar 5 hingga 7 jam ke depan aku hanya akan mengandalkan bonus 100MB kuota internet darurat gratis—jadi sebetulnya tidak luring-luring amat.

Krisis kuota internet ini memaksaku merenung, menerawang langit-langit kamar—ngawang, kata seorang kawan saat kami masih menjadi tahanan di Polres.

Sudah hampir 3 tahun aku menjadi seorang WBP, dan kini tengah menjalani subsider. Selama disini, hanya sedikit sekali tulisan yang kuhasilkan bila dibandingkan dengan apa yang kubayangkan & kuniatkan selama mendekam di rutan berkeamanan super maksimum dulu dan saat dipindahkan ke sel isolasi disini.

Aku teringat gambar jelek “kontra-produktif” di binder hasil tanganku dulu, ketika ponsel rongsok milikku kala itu akhirnya mati total. Gambar yang lahir dari pemikiranku bahwa ponsel membunuh kreatifitas. Pemikiran yang kini kuragukan, setelah kusadari banyak orang yang melahirkan karya brilian melalui ponsel mereka. Nampaknya kreatifitas bisa dilahirkan dari media apapun, termasuk ponsel, tergantung kemauan dan upaya masing-masing individu yang bersangkutan.

Pagi tadi, aku sempat berdiskusi singkat mengenai demo akbar hari ini dengan seorang kawan yang sangat mampu memanfaatkan ponsel untuk menelurkan karya-karyanya. Tangkapan layar dari dua pesan yang dikirimnya kubagikan di WAku, dan digubris oleh beberapa kawan.

Siang harinya, pamanku mengirim pesan singkat bertanya kabar. Kami pun bertukar kabar dan saling mendoakan.

Dan selagi menunggu balasan si admin tadi, aku bertukar pesan dengan kawan dan tetangga rumah. Beberapa kawan tengah mengamankan diri dan beristirahat dari anak-anak muda berseragam polisi dan gas air mata, sementara tetanggaku—yang dulu sekali rumahnya sering kutumpangi tidur siang dan dalam titik tertentu menyerupa sosok seorang ibu bagiku—menyatakan rindu dan doanya beserta keluarga padaku. Aku berharap untuk keamanan dan keselamatan kawan-kawanku beserta demonstran lain, dan menyatakan terima-kasih atas rindu dan doa mereka, juga belasungkawaku atas kepergian anaknya yang sebaya denganku.

Menjelang track terakhir dari putaran acak album yang sama untuk ketiga kalinya, “battery low, battery low” mulai terdengar dari earphone bluetooth yang kukenakan. Suaranya menjengkelkan.

 

***

 

25 Agustus 2025, malam hari.