Hari yang lain di penjara: Kompromi

Naiknya asam lambung ini diperparah oleh kenyataan yang kusadari bahwa aku telah terkena phising, setelah beberapa jam sebelumnya dengan gegabah menyetujui eksekusi sebuah smart-contract dari link yang kudapatkan melalui notifikasi pengumunan sebuah server di Discord terkait klaim airdrop crypto (kripto), yang ternyata diposting oleh sebuah akun bot palsu.

22 USD dalam bentuk koin $S (Sonic) yang tersimpan dalam pool likuiditas sebuah DEX (Decentralized Exchange) lenyap. Smart-contract yang kusetujui tersebut ternyata memberi akses untuk memindahkan aset tertentu yang ada dalam dompet kripto saya ke dompet lain, yang tentunya milik si scammer.

“Slow, lo pernah kena lebih gede kan..”, aku membatin selagi buang hajat (lebih tepatnya mencret) di kamar mandi untuk yang ketiga kalinya, sambil asik menikmati rokok, berusaha menenangkan pikiran.

Syukurnya, masih ada rezeki dari tabungan $ADA (Cardano) yang harganya cukup melonjak mengikuti lonjakan harga $BTC (Bitcoin) kemarin. Disamping itu, pengalaman menjadi korban phising sebelumnya melalui fake-frame di WarpCast—sebuah platform sosial-media Web3, atau yang juga dikenal dengan SocFi (Social Finance)—yang membuat saya kehilangan token $DEGEN dengan estimasi modal sekitar 100 USD cukup membantu untuk tegar dan tidak berlarut mengutuki kecerobohan diri sendiri.

Sebesar 50 ribu IDR dari rezeki tersebut kualokasikan untuk membeli ganja, sebagai peredam mual dan suplemen nafsu makan, agar bisa segera pulih.

Ketika batang kedua dari ganja tersebut sedang kubakar, keadaan kamar ricuh lantaran palkam (kepala kamar) tempatku kini mendekam mengamuk. Pasalnya, hutang sabu beberapa anak kamar padanya kian bertambah. Satu-dua anak kamar dipukulinya, hingga beberapa bagian sket/sketan (sekat lapak tidur) miliknya hampir roboh. Beberapa kali juga terdengar suara kepala membentur tembok. Cukup keras, namun syukurnya tidak sampai membuatnya bocor.

Sekitar setengah jam kemudian, saat sedang buang hajat lagi, seorang petugas masuk dan berbicara dengan palkam di lapak tidurnya. Aku dapat mendengar dengan cukup jelas obrolan mereka, juga semua keluhan dan makian serta penganiayaan (suara benturan kepala dengan tembok) oleh palkam pada anak-anak kamar tersebut.

Disaat buang hajat tersebut—untuk yang keempat kalinya di hari itu—aku teringat konten seorang kawan yang kulihat beberapa jam sebelumnya—tidak begitu lama sehabis apel pagi—mengenai mental otoritas.

Lantas aku juga teringat mereka—kelompok/individu—yang menafikan total segala bentuk kompromi terhadap perlawanan, seolah bersikap kompromi menjadikan kita seorang conformist adalah sebuah kebenaran absolut—kebenaran yang sama yang juga dianut mereka yang bermental otoritas. Percayalah, saya juga pernah demikian menafikannya.

Dan kiranya aku cukup lama mengamini penafian total atas segala bentuk kompromi, tentu saya sudah mendapat letter F (cap bagi napi yang bermasalah) atau mungkin sudah diterbangkan (dioper ke lapas lain yang memiliki aturan lebih ketat) sejak hari pertama dikirim kesini.

Bayangkan, kami, lima-puluhan orang disuruh telanjang bulat di tengah lapangan dibawah guyuran hujan, setelah sebelumnya berjam-jam dijemur diterik matahari. Kabarnya, kalau tidak hujan, napi yang baru dikirim kesini biasanya ‘dimandikan’ massal di lapangan yang sama dengan selang bertekanan cukup tinggi, juga dengan telanjang bulat. Belum lagi intimidasi dari KPLP dan petugas lain yang terkait sebelum dan sesudah kami dengan terpaksa menandatangani surat pernyataan bahwa di lapas ini bebas dari pungli & kekerasan.

Apabila saya masih demikian mengamininya, seharusnya aku bergegas cebok dan melaporkan ke petugas mengenai kekerasan yang terjadi sewaktu ricuh di kamar tadi.

“Terus, kira-kira bapaknya bakal respon gimana? Pemicunya apa? Hutang sabu? Mereka kan sudah pada dewasa, sudah pada ngerti resikonya ngutang sabu. Disamping tekanan kebutuhan untuk menafkahi anak-istrinya di rumah dan keinginan memuaskan gaya hidupnya yang parlente, kepala kamar saya dan palkam-palkam lain ditekan Forman (pemuka blok hunian lapas) untuk setoran blok kamar dan sabu, yang kemudian sebagian akan disetorkan Forman ke petugas atas ‘izin usaha‘ narkobanya.” demikian batinku.

Lingkaran setan.

Dan bila aku masih menafikan kompromi secara total, bisa saja aku menyudahi berak, melapor, lalu memicu kerusuhan, merespons kerusuhan di lapas Muara Beliti, Palembang, 2 hari lalu, dengan faktor pemicu yang kurang relevan tentunya, karena berdasarkan berbagai sumber selama viral kemarin, kerusuhan lapas tersebut dipicu penolakan napi atas razia rutin yang dilakukan pihak lapas, yang dapat mencapai hingga 3 kali razia dalam sepekan, bukan karena hutang-piutang sabu antar napi.

Bagusnya, aku telah melepaskan pandangan tersebut sejak cukup lama. Aku sudah berkali-kali berkompromi dengan negara, juga dengan bank, sejak memiliki dan menyimpan KTP dan rekening. Walau memang, kuakui, aku menjadi cukup sering berkompromi dengan kekerasan dan penganiayaan sejak menjadi tahanan.

Menilik kalimat terakhir dari postingan terkait mental otoritas tadi, kalau memang nampaknya aku tidak mampu memutus total dan membakar habis lingkaran setan ini, setidaknya aku mencoba untuk memutusnya dari hidupku secara personal dengan menghindari masalah yang tidak sepadan dengan peluang manfaatnya agar dapat pulang secepatnya tanpa kendala.

Mungkin ada diantara kalian yang menyodorkan kutipan “raihlah segala ketidakmungkinan” sebagai antitesis, maka “omnia mutantur, nihil interit” adalah sintesis yang dapat kuberikan.

Nafas perlawanan akan tetap ada dalam jiwa seorang pembangkang yang berkompromi untuk melawan di lain hari; Ia tidak mati.

Diselesaikan saat menjelang subuh, sekitar pukul 4:20 pagi, 10 Mei 2025.