Seperti yang mungkin pernah kalian dengar, bahwasanya di Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) —atau yang lebih umum disebut penjara— ada kamar yang fasilitasnya menyerupai hotel dan diskotek: benar adanya.
Tentu saja, selengkap dan semirip apa kamar tersebut dengan hotel atau diskotek yang diharapkan, semua tergantung dari seberapa besar nominal rupiah yang mampu disetorkan si pemilik kamar atau kepala-kamar kepada para petugas terkait.
Selama menjadi WBP, aku belum pernah menjumpai kamar mewah layaknya hotel seperti yang pernah ditayangkan Mata Najwa. Tapi kalau disko darurat, disini cukup lumrah, terlebih lagi saat malam-minggu.
Kamar-kamar yang menggelar diskotek dadakan ini memutar lagu dugem, jedag jedug, atau apalah sebutannya, dengan volume yang begitu kerasnya hingga kau dapat merasakan getarannya di tembok dengan kepalamu saat kau menyenderkan kepala, atau pada dadamu selagi berbaring rebah. Lengkap dengan lampu kerlap-kerlip ala kadarnya. Sebagai pemanis, tidak jarang ada WBP yang memiliki lampu tidur bertema luar-angkasa.
*
Ganja yang kubelikan dari sisa saldo e-wallet sedang kurang bagus, namun cukup memberi kesempatan untukku menikmati musik tersebut, menikmati momen ini.
Kubakar samsu sebatang, kuletakkan ponsel, menggoyangkan kepala seiring irama musik. Kuhisap lagi samsu, kuputar leher melemaskan otot-ototnya.
Ganja mambu tadi setidaknya mampu membantuku menghidupi hidupku. Membantu melupakan sejenak berbagai notifikasi peluang cuan, meredam gelora birahi, menangkis adiksi game, media-sosial & tugas-tugas di peramban yang lagi-lagi menyoal peluang cuan untuk membantu menutupi biaya hidup disini: bulanan kamar, lauk/makanan yang lebih layak dan kuota internet — syukur-syukur ada lebih, makanan ringan/kopi sachet dan tentunya rokok di kantin boleh juga.
*
Kuputar perlahan leherku, kulemaskan otot-ototnya, juga tulang belikatku.
Kuhisap lagi samsu, berkontemplasi sekaligus bernostalgia sembari menatapi kilapan cahaya dari lapak tidur kepala-kamar yang tengah menggelar diskotek dadakan.
Seorang kawan kerap berguyon apabila ponselku memutar sebuah lagu bertempo cepat saat kami sedang giting, “Ganti apa lagunya, reggae ‘kek. Ini mah capek banget musiknya.”
Aku tersenyum mengingatnya, sembari menggerakkan kepalaku seiring irama musik yang tengah berputar.
Senyumku makin melebar saat kemudian teringat seorang teman pernah menduga bahwa aku mabuk obat saat pensi sekolah dulu, karena nampaknya akulah yang paling asyik moshing kala itu. Tidak, aku tidak mengkonsumsi stimulan apapun kala itu. Ganja, obat-obatan seperti inek, alkohol? Tidak sama sekali.
*
Sekitar pukul 4 dini hari, seorang teman kamar yang memang rutin menunaikan sholat subuh meminta seorang ‘petugas’ membukakan pintu kamar agar dia bisa sholat di aula karena begitu kerasnya suara musik di kamar.
Bahkan beberapa kali aku keliru, —skip— mengira musik yang kudengar berasal dari earphone di telingaku yang terhubung pada ponsel, yang memang sedang tidak memutar apa-apa.
Earphone kulepas-pasang dari telinga, merasai perbedaan volume musik yang mencapai gendang telingaku, sembari mensyukuri alat bantu dengar yang juga mampu membantu melindungi pendengaran dari bising yang berlebihan.
Bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki earphone dan ingin istirahat? Aku hanya mampu prihatin dengan tetap menikmati privilege yang kumiliki. Lalu dengan mereka yang tidak memiliki earphone, ingin istirahat, namun lebih memilih menghabiskan sebagian besar uang/saldo untuk sabu/slot saat sedang memilikinya? Peduli setan!
*
Saat rasanya telingaku sudah mulai terbiasa dengan volume musik yang sedang diputar tanpa terhalang earphone, kulanjutkan menikmati hidupku, momen itu.
Memori dan gagasan berseliweran. Nostalgia dan kontemplasi berebut peran.
Jam 05.58 pagi, musik dikecilkan. Dan sekarang 07:17, teks ini baru mencapai akhirnya.