Beberapa waktu lalu, aku sempat terpikirkan Perahu Kerdil —salah satu lagu karya Senartogok— saat agak terlampau giting.
Sambil berjongkok, dengan berbantalkan lengan ku sandarkan kepala ke depan, ke jeruji besi di koridor depan kamar. Kamarku berada di lantai 3, di dalam sebuah bangunan berbentuk persegi panjang dimana di tengah-tengahnya terdapat jarak cukup lebar yang memisahkan kamar barisanku dengan barisan kamar di seberang.
Aku cukup ingat bahwa aku sempat menatapi barisan kamar seberang di lantai 2 bawah sana, lalu ke arah bawah di lantai satu, dimana terdapat meja pingpong yang hanya dapat diakses orang tertentu saja, khususnya petugas dan tahanan penghuni One Man One Cell (sel khusus berkapasitas 1 orang, biasanya dihuni para bos narkoba dan napi tipikor).
Pelacuranku yang sudah-sudah ke gereja lapas demi nasi kotak, kompromi-kompromi dengan otoritas (lapas) yang telah ku lakoni—baik secara langsung maupun tidak—, dan Perahu Kerdil berkelindan di benakku bersama tatapan-tatapan kosong itu.
Beberapa jam lalu, aku dan yang lain kembali nyimeng di depan kamar. Kali ini yang ku gunakan sebagai alas untuk menyiangi ganja adalah sebuah buletin rohani dari gereja lapas, bukan lagi fotokopian warta tata cara ibadah dari salah satu yayasan keagamaan yang pelayanan ibadahnya disini pernah ku hadiri. Di sampulnya tertulis ayat dari kitab Perjanjian Baru, Yohanes pasal ke-13 ayat ke-34.
Menjelang apel siang, Rijal memposting petikan video lirik lagu Perahu Kerdil. Dan itu mengingatkanku akan lamunan kala itu: perahu kerdil yang tengah mencoba tetap bertahan di dalam sebuah kapal besar.