Alkitab di Bawah Pantat

Selepas ibadah siang tadi, aku dan sebagian besar jemaat lain menyantap bersama berkat jasmani yang dibawakan oleh tim pelayanan ibadah yang bertugas.

Salah satu rutinitas kami selaku warga binaan Nasrani yang ikut ibadah: makan bersama di samping gereja lapas—dengan catatan itu pun kalau tim pelayanan ibadah yang sedang bertugas membawakan berkat jasmani berupa makanan berat.

Beberapa saat berselang, hampir semua yang hadir sudah menghabiskan nasi kotaknya masing-masing, dan satu persatu mulai meninggalkan area gereja, menuju 2 blok berbeda dimana masing-masing kamar berada. Sementara aku, seorang pria berumur sekitar 40an awal yang kupanggil Uda, seorang pria berumur sekitar 50an yang kupanggil Amang, dan beberapa orang pengurus gereja masih tetap disana.

Makananku baru hampir kandas saat Amang meminjam handphone milikku. Sebelumnya, Uda berujar padaku, “Udah, santai aja, gua tungguin. Nanti kita bareng ke kamarnya,” selagi aku meneruskan makan. Kami tidak sekamar, namun kamar kami memang berdekatan.

Selagi aku membuang kotak nasi yang sudah habis ku santap, seorang pengurus gereja yang berada dekat tempat sampah tiba-tiba berkata dengan nada agak tinggi, “Ehh, itu kok Alkitab didudukin gitu. Masa Alkitab ditaruh di bawah pantat gitu, yang bener aja Pak!?”

Ternyata teguran tersebut ditujukan pada Amang. Sambil menekuk kedua lututnya, Amang bersandar ke tembok gereja menduduki Alkitab miliknya sembari menggunakan handphone-ku.

“Iya, ini biar gak hilang, makanya saya dudukin,” Amang membela-diri.

“Ya gak didudukin juga kali,” balas si pengurus gereja.

Selesai mencuci tangan, aku jongkok bersandar ke tembok gereja, di sisi kanan Amang, sekitar setengah meter darinya.

Dari sisi kiri kami, petugas gereja tadi kembali menegur, “Loh kok itu ditaruh di bawah gitu?!”

“Duh,” batinku begitu melihat Alkitab si Amang yang kini ternyata berada di ubin di dekat kaki kirinya.

Setelah teguran pertama, Amang hanya memindahkan Alkitabnya dari bawah pantatnya ke dekat telapak kaki kirinya yang bersendal.

“Jujur loh Pak, saya gak terima Alkitab digituin,” lanjut si pengurus gereja.

“Biasa aja Pak, Alkitab bukan jimat,” jawab Amang sembari lanjut menelusuri layar handphone dengan mata dan jarinya.

“Kalau mau lama main handphone, di kamar aja sana,” balas si pengurus gereja ditambah celaan dari pengurus-pengurus lain, sebelum akhirnya Amang mengambil Alkitabnya dan meletakkannya di atas pahanya.

Tentu si pengurus gereja yang menegur Amang dapat dimaklumi. Dia adalah seorang pengurus gereja, yang melihat pelecehan terhadap kitab suci agama yang dianutnya terjadi di depan matanya, di area gereja tempat dia bertugas tidak lama setelah selesainya ibadah.

Aku pun akan tidak senang bila ada yang meminjam bukuku dan mengembalikannya dengan penuh lecekan, apalagi mereka yang menguduskan sebuah kitab melihat kitab tersebut diduduki oleh seseorang—sekalipun orang tersebut berasal dari golongan mereka sendiri.

Memang, kadang aku muak dan geli dengan mereka yang menguduskan seseorang atau sesuatu. Seperti racauan seorang jemaat yang duduk di dekatku saat ibadah tempo hari, ketika Alkitab jemaat lain yang ditaruh di kusen jendela terjatuh, dia berujar “Wah lu, yang bener dong naro Alkitab, Alkitab punya nyawa tau!”

Namun di kasus lain, menguduskan sesuatu adalah hal yang membuahkan manfaat besar. Masyarakat-masyarakat adat yang menganggap keramat suatu hutan sangat berjasa dalam menahan laju global warming dengan merawat dan melestarikan hutan yang bersangkutan, sementara pemerintah dan korporasi makin gencar merusak alam dengan terus membuka lahan untuk perkebunan sawit dan tambang mineral serta batu bara.

Kami pun meninggalkan area gereja. Uda berjalan lebih dulu dan telah berada beberapa meter di depanku & Amang ketika Amang berkata, “Sok paling suci aja mereka, lama-lama saya ajak berantem nanti.”

“Ya jangan bilang ke gua, bilang ke mereka lah,” timpalku agak sebal mendengar ocehannya.

Disini, aku menyayangkan kelakuan si Amang. Dia gagal menyadari posisinya dan gagal untuk bersikap bijak di tengah situasi yang berlangsung: seorang warga binaan yang jarang makan makanan enak, yang baru saja mendapat makanan enak dari gereja, kemudian menduduki Alkitab di area gereja lalu berkelit ketika ditegur oleh pengurus gereja.

Malam sebelumnya, Jay mengunggah video pendek di status WhatsApp-nya yang memuat kalimat: “Tahu tempe adalah makanan yang enak untuk hidup sehat. Tahu diri adalah cara yang sehat untuk hidup yang enak.” —yang membuatku merindukan warteg.

Walaupun nasi kotak tadi berisikan nasi, ayam goreng, tahu, tempe, sambal, daun kemangi, daun sawi, timun, beberapa potong kacang panjang, dan 1 gelas plastik air minum dalam kemasan, si Amang tetap gagal untuk tahu diri.